Tag Archive: abdul qadir al jaelani


Imam Sya’rony, Pemandu Ilmu Kasbi dan Laduni (wafat 973H)

Sya’roni adalah nama tenar dari ‘AbduL Wahab al-Sya’roni . Pengarang kitab aL-Mizan aL-Kubro ini berasaL dan saLah satu keLuarga besar Bani Alawiyyah (keturunan Nabi . Tetapi, di saat terjadi ketegangan antara keturunan Bani ‘Alawiyah dengan Bani mUawiyah, keluarga besar Bani ‘ALawiyah yang merupakan keLuarga besar Imam aL-Sya’roni, berpindah ke Maghrib (Maroko);
yang pada akhirnya Bani ‘Alawiyah mampu mendirikan sebuah kerajaan di sana. Dengan demikian, Imam al-Sya’roni mempunyai silsiLah keturunan dan Muhammad bin aL-Hanafiah bin ‘Ali bin Abi ThoLib . Menurut riwayat yang shahih, tokoh kita ini diLahirkan pada tanggaL 27 Ramadhan tahun 898 H,

di sebuah pedesaan yang bernama Qalqasyandah (daerah selatan Mesir). Desa tersebut merupakan pedesaan datuknya dan jaLur ibu. Tapi, setelah empat puLuh han dan han keLahiranya, aL-Sya’roni dibawa oLeh sang ibu untuk pindah dan desa keLahiranya, menuju desa asal ayahandanya yaitu desa Abu Syaroh di propinsi Manufiyyah, yang lambat Laun dan desa tersebut Imam Sya’roni mendapatkan sebuah geLar; yaitu alSya’roni.

Imam Sy’roni dan dunia ibadah

Pada usia yang masih sangat beLia, aL-Sya’roni telah ditinggaL mati oLeh ayahnya. Setelah itu Syaroni keciL dirawat oleh seorang paman yang shalih dan ahLi ibadah.
Sang paman yang shaLih seLaLu membimbing kemenakannya untuk seLaLu hidup dalam keshalihan dan ketaatan kepada Tuhan. Dan hasiL didikan seorang paman yang taat ini, bukan sesuatu yang mengherankan jika Imam Sya’roni semenjak keciLnya, merupakan seorang anak yang terkenaL akan ibadah dan pengabdianya kepada ALlah . Semenjak usia deLapan tahun, dia teLah terbiasa meLakukan shaLat maLam, dengan menenggelamkan diri daLam dzikir-dzikir yang mengagumkan. Keyatiman yang ia aLami, tidak menjadikan dirinya berkembang sebagai anak yang hidup daLam keputusasaan dengan tanpa harapan. Semenjak keciL, ia teLah menyakini daLam hatinya yang paling daLam, bahwa ALLah telah menjaganya dan sifat keberagamaan yang Lemah, sebagaimana AlLah seLaLu menjaga dirinya dan perbuatan yang terceLa dan hina. Bahkan dalam hatinya, dia juga percaya bahwa ALLah teLah memberikan kepada dirinya kecerdasan yang bisa dijadikan pisau daLam memahami semua keiLmuan dengan benar, yang sekaLigus mampu memahami semua kerumitan- kerumitan yang ada.

Imam Sy’roni dan dunia kelimuan

Dalam sejarah hidupnya, kecintaan Imam Sya’roni terhadap ilmu-iLmu agama, telah menjadikan dirinya meLakukan perjaLananan dari desa asalnya menuju Kairo. Ketika berada di Kairo, dia yang semenjak kecil dididik dengan keshalihan dan ketaatan, seLaLu menghabiskan waktu-waktu yang ia miLiki dengan beribadah dan meneLaah semua keiLmuan. Dia teLah menjadi semakin aLim dan bertakwa. Waktu-waktunya hanya ia habiskan untuk beribadah dan belajar, di daLam sebuah masjid. Semenjak berada di Kairo, dia telah berhasil bertemu dengan para uLama-ulama besar; seperti Jalaluddin al-Syuyuthi, Zakaria aL-Anshori, Nashirudin aL-Laqoni dan aL-RomLi , yang guru-gurunya ini seLaLu ia kenang daLam beberapa tulisan kitabnya. Di Kairo, Imam agung ini mempeLajari semua keilmuan yang ada pada zamanya. Dia seLaLu mempelajari semua keilmuan dengan semangat belajar yang luar biasa. Dia merupakan simbol dan seorang murid yang teladan dan rajin pada zamanya. Dia seLaLu mencari sebuah kebenaran di manapun ia berada. Dalam pandangannya, semua imam adaLah contoh yang telah mendapatkan sebuah petunjuk dariAlLah  Dia tidak meLakukan sikap fanatisme yang berLebihan terhadap saLah satu mazhab, dan tidak tergesa-gesa dalam meniLai sebuah ijtihad dan salah satu mazhab tententu, kecuaLi seteLah melakukan pengkajian yang matang dan mendetaiL. Dan, seteLah ia menguasai
beberapa disipLin ilmu yang ada pada zamanya, dia tidak berubah menjadi seorang yang sombong dan angkuh, tapi tetap menjadi seorang yang tawadhu’ dan rendah hati. As-Syaroni sebagaimana ahli sufi Lainnya, seLaLu menghindari perdebatan yang tidak ada gunanya di saat menuntut iLmu. Dia memahami betuL bahwa berdebat hanya akan menjauhkan dirinya dan cahaya Tuhan.

As-Syaroni dan ‘All al-Khowwas
Pertemuan antara aL-Sya’roni dan al Khowwas, merupakan saLah satu bukti betapa pentingnya seorang Syeikh dalam dunia para sufi. AL-Khowwas adaLah seorang Laki-Laki yang teLah diberikan ALlah . sebuah mauhibah dan keistimewaan, daLam menjaLani badai kehidupan. Dia merupakan saLah satu anugerah, yang pernah diberikan ALLah kepada umat manusia daLam menuju sebuah hakikat. AL-Khowwas merupakan simbol kebenaran atas keberadaan ilmu Laduni dalam dunia sufi. Semenjak kecil Dia adaLah seorang yang ummi (buta huruf), yang dalam setiap perkataannya selalu diwarnai dengan ayat-ayat AL-Quran dan Hadits. Dia mampu mengambil sebuah istimbat dan dalil-dalil tersebut, dengan sangat menakjubkan dan mengherankan. Pertemuannya dengan aL-Sya’roni , merupakan sebuah bukti dan keistimewaan seorang waLl dengan ilmu Laduninya, dengan seorang ‘aLim yang beLum mencapai derajat tersebut. AL-Khowwas adalah seorang ummi, sedang al-Sya’roni adaLah seorang yang ‘aLim. Tapi, itu semua hanya dalam penampakan Lahir beLaka. Pada hakikatnya aL-Khowwas adaLah seorang ‘aLim sedang aL-Sya’roni adalah seorang ummi. ILmu aL-Khowwas adaLah iLmu mauhibah yang Langsung diterima dan AlLah , sedang ilmu aL-Sya’roni adaLah ilmu yang bersumber dan kitab-kitab bacaan yang hakikat iLmu tersebut menurut orang sufi bukan merupakan ilmu yang dimiLiki secara hakiki, melainkan ilmu yang didapat meLaLui bacaan terhadap kitab. Al-Khowwas adalah seorang yang telah mengantarkan aL-Sya’roni menuju dunia sufi yang sesunggungya. Dia teLah mengantarkan al-Sya’roni mencapai derajat kewaLian, dan mengajarkan tata cara mencapai sebuah iLmu laduni. DaLam beberapa kesempatan AL-Sya’noni mengisahkan bagaimana aL-Khowwas telah memberikan pengajaran kepada dirinya dalam mencapai derajat tersebut. Yang pertama ia lakukan adaLah menjual semua kitab yang ia miLiki, dan menghabiskan semua hasil penjualan kepada fakir miskin. Pada awalnya, al-Sya’roni merasa berat menjaLankan perintah sang guru, bahkan
seteLah meLakukan semua perintah tersebut, aL-Sya’roni merasa tidak enak hati dan terus memikirkan kitab-kitab yang telah Ia juaL. Ia merasa teLah kehiLangan semua iLmu yang selama ini Ia tekuni. Tetapi, ketika aL-Khowwas mengetahui haL tersebut, beliau memerintahkan kepada al-Sya’roni untuk memperbanyak dzikir kepada AlLah
. Setelah mampu menanggulangi cobaan pertama ini, al-Khowwas menyuruhnya menghindari keramaian manusia (uzLah), hingga pada akhirnya aL-Sya’roni  tdk merasa dirinya paLing baik dibandingkan dengan yang Lainnya. AL-Khowwas kemudian menganjurkan kepada aL-Sya’roni untuk terus meLakukan mujahadah hingga Ia akan merasakan bahwa dirinya lebih hina dari pada orang yang paling hina sekaLipun. Setelah masa-masa tersebut, aL-Khowas menyuruh aL-Sya’roni untuk berbaur kembali dengan masyarakat ramai, dengan bersabar atas apa yang mereka lakukan terhadap dirinya. AL-Sya’roni ketika menjaLankan haL tersebut merasakan bahwa dirinya merupakan orang yang paling tinggai derajatnya jika dibandingkan dengan orang Lainya. Tetapi, seperti biasanya, aL-Khowwas kemudian memerintahkan kepada dirinya untuk menghiLangkan perasaan-perasaan tersebut. Al-Khowwas menyuruh aLSya’roni untuk memperbanyak dzikir kepada ALLah daLam semua waktuwaktunya. Ia tidak boleh memikirkan haL lain selain sang pencipta. Sehingga Ia harus menjaLani masa-masa itu seLama berbuLan-bulan. Dan bukan hanya itu saja, alKhowwas kemudian menyuruh dirinya untuk menghindar dari nafsu makan. Makan hanya dilakukan untuk menjaga keLangsungan hidup beLaka, sehingga aL-Sya’roni . ketika itu merasakan dirinya teLah terbang ke atas. Mujahadah yang telah diajarkan aL-Khowwas kepada aL-Sya’roni teLah menjadikan dirinya memiliki keiLmuan yang tidak Ia duga sebeLumnya. Ia merasakan, bahwa ilmu yang teLah Ia miLiki, mendapatkan pesaing dan iLmu mauhibah yang baru Ia dapat. ILmu yang baru Ia dapat telah memberi penyempurnaan terhadap ilmu yang seLama ini Ia miliki. Hati aLSya’roni teLah dibuka oLeh ALlah , dan dibenikan pengetahuan-pengetahuan yang hanya dimiliki oleh seorang sufi saja. Tetapi, waLaupun aL-Sya’noni . teLah mendapatkan iLmu laduni dari ALlah , aL-Khowwas yang dalam haL ini berperanan sebagai guru al-Sya’noni , membimbing kepada dirinya untuk terus melakukan berbagai macam mujahadah daLam rangka membersihkan hatinya dari beLenggu duniawi. Sehingga pada akhirnya aL-Sya’noni mampu mendapatkan berbagai macam iLham dan karomah yang teLah diberikan Langsung oLeh ALlah kepada dirinya.
Karomah Imam Syaroni
Suatu ketika antara Syeikh Abd aI-Wahhab ( dengan Syekh Nasiruddin aI-Laqqani (, terjadi kesalah kefahaman karena ada aduan dari sebagian orang yang hasud pada Syeikh Abd aI-Wahhab (. Dia mengadu pada Syeikh Nasir ( bahwa Syeikh Syaroni dalam majlis pengajiannya mencampur santri laki-laki dengan santri perempuan. Ketika Syeikh Syaroni ( mengetahui bahwa Syeikh Nasir ( terkena tipuan orang  ini, maka beliau sowan ke Syeikh Nasir ( untuk meminjam kitab AI-Mudawwanah’. Syeikh Nasir ( dalam kesempatan itu mengatakan : Aku harap engkau tidak meLakukan pelanggaran Lagi, dan engkau kembali pada Syariat yang benar ! ‘. Syeikh Syaroni menjawab : Insya-ALLah itu akan terjadi. SeteLah itu, Syeikh Nasir menyuruh pembantunya untuk mengeLuarkan kitab ‘Al-Mudawwanah dari aLmari, dan menyuruhnya mengantarkannya ke rumah Syekh Syaroni . Beberapa saat setelah sampai di rumah Syeikh Syaroni , pembantu itu mohon diri untuk puLang. Namun Syeikh Syaroni menahan dan meminta agar ia mahu menginap barang satu malam. Keduanya mengisi maLam itu dengan bercengkerama sampai Larut malam. Ketika maLam telah meLampaui sepertiganya, Syeikh Syaroni masuk ke kamar khoLwatnya. Kira-kira seperempat jam, beLiau keluar untuk membangunkan pembantu itu agar shoLat tahajjud. LaLu dia bangun, berwudLu dan shoLat bersama Syeikh Syaroni sampai menjelang subuh. Selesai solat Subuh mereka berdua membaca AL-Quran bersama, lalu mengamaLkan wirid masing masing sampai matahari terbit. Menginjak matahari setinggi tombak Syeikh Syaroni mengajaknya untuk ke kamar dan makan pagi bersama. Tolong kembaLikan kitab al-Mudawwanah ini pada Syeikh Nasir dan sampaikan rasa terima kasih saya” ucap Syekh Syaroni seteLah acara makan pagi seLesai. Khodim Syeikh Nasir ini heran dan bertanya-tanya dalam hatinya : Apa maksud Syeikh Syaroni i, meminjam kitab hanya satu maLam saja? Apa yang telah dilakukannya dengan kitab ini? . Ketika dia sampai pada gurunya dan mengembalikan kitab tersebut Syeikh Nasir tambah marah pada Syekh Syaroni . Di tengah rasa marah ini Syeikh Nasir ditanya tentang suatu masaLah yang mengharuskannya untuk membaca kitab Al-Mudawwanah. Ketika membukanya ía kaget karena di situ ada catatan-catatan tangan Syeikh Syaroni . Demikian lembar demi Lembar seLalu ada catatan tangan Syeikh Sya’roni . Karena heran dengan kenyataan ini Syeikh Nasir
bertanya pada muridnya tadi : “Apa yang diLakukan Syeikh Sya’roni dengan kitab ini. Diapun menjawab: Demi ALlah… dia tidak berpisah dariku kecuali hanya dua puluh menit, beLiau tidak meninggalkan wiridan dan tahajjudnya Demi mendengar keterang muridnya ini, Syeikh Nasir LaLu pergi menghadap Syeikh Syaroni dengan tanpa memakai alas kaki dan tutup kepaLa. Ketika sampai di hadapan Syeikh Syaroni Syeikh Nasir berkata : ‘Sekarang aku bertaubat. Aku tidak akan berani lancang pada goLongan ahli Tasawwuf. Syeikh Syaroni LaLu berkata : Mahukah tuan aku tunjukkan kitab ringkasan kitab AL-Mudawwanah, yang aku Lakukan malam itu ? kalau memang ada yang menerimanya itu semata-mata anugerah ALlah , dan barokah Izin Nabi KaLau tidak ada yang menerimanya maka aku akan menghapusnya dengan air. LaLu Syeikh Nasir memberikan kata pengantar, dan memuji kitab Syeikh Syaroni i. Di antara karomah Imam Syaroni adalah suatu ketika ia tidur di rumab kawannya di sebuah ruang terpencil yang banyak jinnya. Pada petang harinya kawannya ini menyaLakan Lampu di ruangan itu, menutup pintu LaLu meninggaLkan Syeikh Syaroni sendirian. LaLu datangLah sekeLompok jin. Mereka mematikan lampu dan mengitari Syeikh kita ini hendak mengganggunya. Tahu akan apa yang terjadi Syeikh Syaroni berkata : Demi keagungan ALlah…. Kalau saja aku mahu menangkap saLah satu di antara mereka, nescaya tidak akan ada satupun yang mampu meLepaskannya. LaLu Imam Syaroni . tertidur dengan tenang seperti tidak ada apaapa. Di antara karomahnya adaLah, suatu ketika Imam Syaroni berkata : Aku diberi anugerah oleh AlLah berupa pengetahuan apakah seorang waLi sedang berada dalam kuburnya atau tidak. Karena memang para wali dalam kuburnya mempunyai aktifitas tersendiri. Mereka seLalu datang dan pergi. Keistimewaan ini juga di miLiki oLeb Syeikh ‘ALi aL-Khowwas guru Syeikh Syaroni . Sang guru ini kaLau melihat seseorang mahu ziaroh ke makam seorang waLi kadang-kadang mengatakan : Cepatlah pergi kesana, karena sebentar Lagi sang wali mahu pergi untuk keperLuan! . Suatu ketika Syeikh Syaroni ziarah ke makam Syeikh Umar Ibn aL-FaridL , tapi tidak menjumpainya dalam kuburannya. SeteLah itu, Syeikh Umar datang kepadanya, sambil berkata Maafkan saya, karena tadi aku ada keperluan.

Wafat

Imam Sya’roni wafat pada tahun 973 H 1 565 M.

 

Sumber :http://ashakimppa.blogspot.com/2011/12/syeih-abdul-wahhab-assyarony-ra.html

Junaid Al-Baghdadi, seorang tokoh sufi, mempunyai anak didik yang amat ia senangi. Santri-santri Junaid yang lain menjadi iri hati. Mereka tak dapat mengerti mengapa Syeikh memberi perhatian khusus kepada anak itu.

Suatu saat, Junaid menyuruh semua santrinya untuk membeli ayam di pasar untuk kemudian menyembelihnya. Namun Junaid memberi syarat bahwa mereka harus menyembelih ayam itu di tempat di mana tak ada yang dapat melihat mereka. Sebelum matahari terbenam, mereka harus dapat menyelesaikan tugas itu.

Satu demi satu santri kembali ke hadapan Junaid, semua membawa ayam yang telah tersembelih. Akhirnya ketika matahari tenggelam, murid muda itu baru datang, dengan ayam yang masih hidup. Santri-santri yang lain menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu tak boleh melaksanakan perintah Syeikh yang begitu mudah.

 

Junaid lalu meminta setiap santri untuk menceritakan bagaimana mereka melaksanakan tugasnya. Santri pertama berkata bahwa ia telah pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu, menutup semua jendela, dan membunuh ayam itu. Santri kedua bercerita bahwa ia membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam itu ke kamar mandi yang gelap, dan menyembelihnya di sana. Santri ketiga berkata bahwa ia pun membawa ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup matanya sendiri. Dengan itu, ia fikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan ayam itu. Santri yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu memotong ayamnya. Santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan membunuh ayam di sana.

Tibalah giliran santri muda yang tak berhasil memotong ayam. Ia menundukkan kepalanya, malu karena tak dapat menjalankan perintah guru, “Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada tempat di mana Dia tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia masih bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia masih menemaniku. Aku tak boleh pergi ke tempat di mana tak ada yang melihatku.

Shaykh Junayd Baghdadi pergi untuk jalan-jalan keluar Baghdad. Murid-murid mengikutinya.

Shaykh bertanya bagaimana kabar bahlul yang gila ?

Mereka menjawab, “Dia adalah orang gila, apa yang anda perlukan dari dia?”

“bawalah aku ke dia, karena aku ada perlu dengan nya.”

Para murid mencari Bahlul dan menemukannya di padang pasir. Mereke membawa Shaykh Junayd kepadanya

Ketika Shaykh Junayd pergi mendekati Bahlul, Beliau melihat Bahlul dalam keadaan gelisah dengan batu bata ada dibawah kepalanya (posisi kepala dibawah ?)

Shaykh mengucapkan salam

Bahlul menjawab dan bertanya, “Siapakah Anda? ”

” Saya Junayd Baghdadi.”

Bahlul bertanya, “Apakah Anda Abul Qasim?”

“Ya, betul !” jawab Shaykh

Bahlul bertanya lagi ” Apakah Anda Shaykh Baghdadi yang memberikan orang-orang Petunjuk spiritual? ”

“Ya!” kemudian Bahlul bertanya ” Tahukah Anda bagaimana cara makan?”

“Ya!” Saya mengucapkan Bismillah (Dengan mengucap nama Allah SWT). Saya makan yang paling dekat dengan saya, Saya mengambil gigitan kecil, meletakkannya di sisi kanan dari mulut saya, dan mengunyah pelan-pelan. Saya tidak nampak ke gigitan yan lain. Saya mengingat Allah SWT saat makan. Untuk sebutir apapun yang saya makan, Saya mengucap Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah SWT). Saya mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.”

Bahlul berdiri, meggerakkan pakaiannya pada Shaykh, dan berkata, ” Anda ingin menjadi pemimpin spiritual dunia tapi Anda tidak pun mengetahui bagaimana cara makan.” setelah mengucapkannya, dia langsung pergi.

Para Murid Shaykh berkata, “O Shaykh! Dia orang yang gila. ”

Shaykh menjawab, Dia adalah orang gila yang sangat pandai dalam berucap. dengarkan pernyataan yang benar dari nya.

Setelah mengucapkan Beliau pergi dibelakang Bahlul, dan berkata, ” Saya ada perlu dengan Bahlul.”

 

Ketika Bahlul mencapai bangunan yang berdebu, dia duduk. Junayd mendekatinya.

Bahlul bertanya, “Siapakah Anda?”

” Shaykh Baghdadi yang pun tidak mengetahui bagaimana cara makan.”

” Anda tidak mengetahui bagaiaman makan, tapi apakah Anda tahu bagaimana berbicara?”

“Ya”

” Bagaimana anda berbicara ?”

” Saya berbicara secara umum dan langsung pada pokok masalah. Saya tidak berbicara terlalu tinggi atau terlalu banyak. Saya berbicara sehingga para pendengar dapat mengerti. Saya memanggil semua orang di dunia untuk kembali ke Allah dan Nabi (s). Saya tidak berbicara terlalu banyak sehingga semua orang akan bosan. Saya memperhatikan kedalaman pengetahuan spiritual dan yang umum.

kemudian dia menggambarkan apapun yang berhubungan dengan Adab dan etika

Bahlul berkata, “Lupakan soal makan, Anda pun tidak mengetahui bagaimana berbicara.”

Bahlul berdiri, meggerakkan pakaiannya pada Shaykh dan pergi

Para murid berkata, “O Shaykh! Anda lihatkan, dia orang yang gila. Apa yang Anda harapkan dari orang yang gila!”

Shaykh berkata, ” Saya ada perlu dengan dia. Kalian tidak tahu.”

Sekali lagi Beliau pergi setelah Bahlul sampai Beliau menjumpainya.

Bahlul bertanya, “Apa yang Anda inginkan dari saya? Anda yang tidak mengetahui Adab makan dan bicara, apakah Anda mengetahui bagaimana cara untuk tidur?”

” Ya, saya tahu.”

” Bagaimana cara tidur?” Bahlul bertanya

” Ketika saya selesai sholat Isya’ dan membacakan permohonan, saya pakai baju tidur saya.”

Kemudian beliau menggambarkan adab-adab tidur yang sudah diterima oleh beliau dari Orang-orang yang telah belajar agama.

Bahlul kemudian berkata : ” Saya mengerti bahwa Anda pun tidak mengetahui juga bagaimana untuk tidur.”

Dia ingin berdiri, tapi Junayd menangkap memegang pakaian nya dan berkata, O Bahlul! Saya tidak mengethuinya; Demi kecintaan kepada Allah SWT ajari saya.

Bahlul berkata ” Anda mengklaim pengetahuan dan berkata bahwa anda tahu sehingga Saya mencegah Anda. sekarang Anda mengakui ketiadaan pengetahuan Anda, Saya akan mengajari Anda.”

“Tahu apapun yang Anda utarakan itu adalah tidak penting.”

” Kebenaran dibalik memakan makanan yang Anda makan menurut hukum adalah sepotong demi sepotong. Jika Anda makan makanan yang dilarang juga, dengan seratus adab, hal itu tidak akan menguntungkan Anda, tapi bisa menjadi alasan untuk menghitamkan hati.”

” Semoga Allah memberkati Anda pahala yang sangat besar.” ucap Shaykh.

Bahlul melanjutkan, Hati haruslah bersih, dan memiliki niat yang baik sebelum Anda mulai bicara. dan pembicaraan Anda haruslah menyenangkan Allah SWT. Jika itu untuk segala urusan dunya atau pekerjaan yang sia-sia, maka apapun yang Anda ekspresikan, akan menjadi bencana bagi Anda. Itulah sebabnya diam dan tenang adalah yang terbaik.”

“Apapun yang Anda ucapkan tentang tidur juga tidak penting. Kebenarannya adalah bahwa hati Anda seharusnya bebas dari permusuhan, cemburu, dan kebencian. Hati Anda seharusnya TIDAK rakus untuk dunya ini atau kekayaanya, dan ingatlah Allah SWT ketika akan tidur.

Shaykh Junayd kemudian mencium tangan Bahlul dan berdoa untuk nya.

Para murid yang menyaksikan kejadian ini, dan yang telah berfikir bahwa Bahlul gila, melupakan tindakannya dan memulai hidup baru

====

Moral : Pelajaran nya adalah jika seseorang tidak mengerti tentang sesuatu, seharusnya dia tidakmalu untuk belajar; seperti Shaykh Junayd yang telah belajar Adab makan, bicara dan tidur .

Kelahiran
AbdulQadir Jailani adalah seorang ulama terkenal. Ia bukan hanya terkenal di mana ia tinggal, Baghdad, Irak saja. Tetapi hampir seluruh umat Islam di seluruh dunia mengenalnya. Hal itu dikarenakan kesalihan dan ilmunya yang demikian tinggi dalam bidang ajaran Islam, terutama dalam bidang tasawuf.
Name sebenarnya adalah Abdul Qadir. Ia juga dikenal dengan berbagai gelar atau sebutan seperti; Muhyiddin, al Ghauts al Adham, Sultan al Auliya, dan sebagainya. Abdul Qadir Jailani masih keturunan Rasulullah SAW. Ibunya yang bernama Ummul Khair Fatimah, adalah keturunan Husain, cucu Nabi Muhammad Saw. Jadi, silsilah keluarga Syaikh Abdul Qadir Jailani jika diurutkan ke atas, maka akan sampai ke Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib.
Abdul Qadir Jailani dilahirkan pada tahun 1077 M. Pada saat melahirkannya, ibunya sudah berusia 60 tahun. Ia dilahirkan di sebuah tempat yang bernama Jailan. Karena itulah di belakang namanya terdapat julukan Jailani. Penduduk Arab dan sekitarnya memang suka menambah nama mereka dengan nama tempat tinggalnya.

Abdul Qadir dan Perampok

Setelah menginjak masa remaja, Abdul Qadir pun minta izin pada sang ibu untuk pergi menuntut ilmu. Dengan beat hati sang Ibu mengizinkannya. Oleh sang ibu, ia dibekali sejumlah uang yang tidak sedikit, dengan disertai pesan agar ia tetap menjaga kejujurannya, jangan sekali-sekali berbohong pada siapapun. Maka, berangkatlah Abdul Qadir muda untuk memulai pencarian ilmunya.
Namun ketika perjalanannya hampir sampai di daerah Hamadan, tiba-tiba kafilah yang ditumpanginya diserbu oleh segerombolan perampok hingga kocar-kacir. Salah seorang perampok menghampiri Abdul Qadir, dan bertanya,
“Apa yang engkau punya?”

 

Abdul Qadir pun menjawab dengan terus terang bahwa ia mempunyai sejumlah uang di dalam kantong bajunya. Perampok itu seakan-akan tidak percaya dengan kejujuran Abdul Qadir. Bagaimana mungkin ada orng engaku jika memiliki uang kepada perampok. Kemudian perampok itupun melapor pada pemimpinnya.
Sang pemimpin perampokpun segera menghampiri Abdul Qadir. Ia menggeledah baju Abdul Qadir. Ternyata benar, di balik bajunya itu memang ada sejumlah uang yang cukup banyak. Kepala perampokitu benar-benar dibuat seolah tidak percaya. Ia lalu berkata kepada Abdul Qadir,
“Kenapa kau tidak berbohong saja ketika ada kesempatan untuk itu?”
Maka Abdul Qadir pun menjawab, “Aku telah dipesan oleh ibundaku untuk selalu berkata jujur. Dan aku tak sedikitpun ingin mengecewakan beliau.”
Sejenak kepala rampok itu tertegun dengan jawaban Abdul Qadir, lalu berkata: “Sungguh engkau sangat berbakti pada ibumu, dan engkau pun bukan orang sembarangan.”
Kemudian kepalaperampok itu menyerahkan kembali uang itu pada Abdul Qadir dan melepaskannya pergi. Konon, sejak saat itu sang perampok menjadi insyaf dan membubarkan gerombolannya.

Mengembara

Pencarian ilmunya berlanjut. Kemudian berangkatlah Abdul Qadir ke Baghdad. Baghdad adalah ibukota Irakl. Saat itu Baghdad adalah sebuah kota yang paling ramai di dunia. Di Baghdad berkembang segala aktiitas manusia. Ada yang datang untuk berdagang atau bisnis, mencari pekerjaan atau menuntut ilmu. Baghdad merupakan tempat berkumpulnya para ulama besar pada saat itu.
Saat itu tahun 488 H. Usia Abdul Qadir baru 18 tahun. Pada saat itu, khalifah atau penguasa yang memimpin Baghdad adalah Khalifah Muqtadi bi-Amrillah dari dinasti Abbasiyyah.
Ketika Syaikh Abdul Qadir hampir memasuki kota Baghdad, ia dihentikan oleh Nabi Khidir as. Nabi Khidir adalah seorang Nabi yang disebutkan dalamAl-Qur’an dan diyakini para ulama masih hidup hingga kini. Saat menemui Abdul Qadir itu, Nabi Khidir mencegahnya masuk ke kota Bagdad itu.
Nabi Khidir berkata, “Aku tidak mempunyai perintah (dari Allah) untuk mengijinkanmu masuk (ke Baghdad) sampai 7 tahun ke depan.”

Tujuh Tahun Tinggal di Tepi Sungai

Tentu saja Abdul Qadir bingung.mengapa ia tidak diperbolehkan masuk ke kota Baghdad selamatujuh tahun? Tetapi Abdul Qadir tahu, bahwa jika yang mengatakan itu adalah Nabi Khidir, tentu dia harus mengikuti perntahnya tersebut.
Oleh karena itu, Abdul Qadir pun kemudian menetap di tepi sungai Tigris selama 7 tahun. Tentu sangat berat. Ia yang selama di umah bisa hidup bersamaorang tua dan saudara-saudaranya di rumah, sekarang harus hidup sendiri di tepi sebuah sungai. Tidak ada yang dapat dimakannya kecuali daun-daunan. Maka selama tujuh tahun itu ia memakan dedaunan dan sayuran yang bisa dimakan.
Pada suatu malam ia tertidur pulas, sampai akhirnya ia terbangun di tengah malam. Ketika itu ia mendengar suara yang jelas ditujukan kepadanya. Suara itu berkata, “Hai Abdul Qadir, masuklah ke Baghdad.”
Keesokan harinya, iapun mengadakan perjalanan ke Baghdad. Maka, ia pun masuk ke Baghdad. Di kota itu ia berjumpa dengan para Syaikh, tokoh-tokoh sufi, dan para ulama besar. Di antaranya adalah Syaikh Yusuf al Hamadani. Dari dialah Abdul Qadir mendapat ilmu tentang tasawuf. Syaikh al Hamadani sendiri telah menyaksikan bahwa Abdul Qadir adalah seorang yang istimewa, dan kelak akan menjadi seorang yang terkemuka di antara para wali.

Berguru Kepada Para Ulama Besar

Syaikh al-Hamdani berkata, “Wahai Abdul Qadir, sesungguhnya aku telah melihat bahwa kelak engkau akan duduk di tempat yang paling tinggi di Baghdad, dan pada saat itu engkau akan berkata, ‘Kakiku ada di atas pundak para wali.”
Selain berguru kepada Syaikh Hamdani, Abdul Qadir bertemu dengan Syaikh Hammad ad-Dabbas. Iapun berguru pula kepadanya. Dari Syaikh Hammad, Abdul Qadir mendapatkan ilmu Tariqah. Adapun akar dari tariqahnya adalah Syari’ah. Dalam taiqahnya itu beliau mendekatkan diri pada Allah dengan doa siang malam melalui dzikir, shalawat, puasa sunnah, zakat maupun shadaqah, zuhud dan jihad, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri.
Kemudian Syaikh Abdul Qadir berguru pada al Qadi Abu Said al Mukharimi. Di Babul Azaj, Syaikh al Mukharimi mempunyai madrasah kecil. Karena beliau telah tua, maka pengelolaan madrasah itu diserahkan kepada Abdul Qadir. Di situlah Syaikh Abdul Qadir berdakwah pada masyarakat, baik yang muslim maupun non-muslim.
Dan dari Syaikh al Mukharimi itulah Syaikh Abdul Qadir menerima khirqah (jubah ke-sufi-an). Khirqoh itu secara turun-temurun telah berpindah tangan dari beberapa tokoh sufi yang agung. Di antaranya adalah Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Siri as-Saqati, Syaikh Ma’ruf al Karkhi, dan sebagainya.

Menjadi Ulama Besar

Syaikh Abdul Qadir tidak hanya berguru kepada para ulama di atas. Dia juga memperdalam ilmunya kepada para ulama besar yang lain. Di antaranya adalah Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al Muharrimi. Seluruh guru-guru Syaikh Abdul Qadir tersebut adalah para ulama besar yang ilmunya sangat luas dalam bidang agama. Sebab itulah, tidak heran jika kemudian Syaikh Abdul Qadir menjadi ulama besar menggantikan para ulama tersebut.
Sebegaimana telah disebutkan, suatu ketika Abu Sa’ad Al Mukharrimi, guru Syaikh Abdul Qadir, membangun sekolah atau Madrasah yang bernama Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak cukup untuk menampung orang yang datang ingin berguru kepada Syaikh Abdul Qadir.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab. Ia berdakwah kepada semua lapisan masyarakat, hingga dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syaikh Abdul Qadir Jailani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq. Akhirnya beliau dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H.
Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya, Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M). Kemudian diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syaikh Abdul Qadir Jailani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M). Namun sayang sekali, sekolah yang besar itu akhirnya hancur ketika Baghdad diserang oleh tentara Mongol yang biadab pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir Jailani juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar di dunia bernama tarekat Qadiriyah.

Kesaksian Para Syaikh

Syaikh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syaikh Abdul Qadir. Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syaikh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika Syaikh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata, “Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!”
Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata Syaikh Junaid al-Baghdadi, “Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qadir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan, ‘Kakiku ada di atas pundak para Wali.”
Syaikh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syaikh Abdul Qadir. Ia adalah salah seorang ulama terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
“Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syaikh Ma’ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syaikh Bisri al Hafi, 4) Syaikh Mansur ibn Amar, 5) Syaikh Junaid al-Baghdadi, 6) Syaikh Siri as-Saqoti, 7) Syaikh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syaikh Abdul Qadir Jailani.”
Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syaikh Muhammad ash-Shanbaki bertanya, “Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami belum mendengarnya. Siapakah Syaikh Abdul Qadir Jailani?”
Maka Syaikh Abu Bakar pun menjawab, “Abdul Qadir adalah shalihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad.”
Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad ra. (1044-1132 H), dalam kitabnya “Risalatul Mu’awanah” menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syaikh Abdul Qadir Jailani sebagai suri-teladannya.
Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Kedua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu ataupun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ketiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun.
Dalam hal ini, contohnya adalah Syaikh Abdul Qadir Jailani. Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syaikh Abdul Qadir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikitpun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya.
Ini membuktikan bahwa Syaikh Abdul Qadir Jailani benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki karamah.
Hafidz al Barzali, mengatakan, “Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah seorang ahli fiqih dari madzhab Hanbali dan Syafi’i sekaligus, dan merupakan Syaikh (guru besar) dari penganut kedua madzhab tersebut. Dia adalah salah satu pilar Islam yang doa-doanya selalu makbul, setia dalam berdzikir, tekun dalam tafakur dan berhati lembut. Dia adalah seorang yang mulia, baik dalam akhlak maupun garis keturunannya, bagus dalam ibadah maupun ijtihadnya.”
Abdullah al Jubba’i mengatakan:
“Syaikh Abdul Qadir Jailani mempunyai seorang murid yang bernama Umar al Halawi. Dia pergi dari Baghdad selama bertahun-tahun, dan ketika ia pulang, aku bertanya padanya: “Kemana saja engkau selama ini, ya Umar?” Dia menjawab: “Aku pergi ke Syiria, Mesir, dan Persia. Di sana aku berjumpa dengan 360 Syaikh yang semuanya adalah waliyullah. Tak satu pun di antara mereka tidak mengatakan: “Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah Syaikh kami, dan pembimbing kami ke jalan Allah.”

Kisah Yang terkenal

Pada suatu malam ketika beliau sedang bermunajat kepada Allah yang panjang. Tiba muncullah seberkas cahaya terang. Bersamaa dengan itu, terdengar suara, “Wahai Syaikh, telah kuterima ketaatanmu dan segala pengabadian dan penghambaanmu, maka mulai hari ini kuhalalkan segala yang haram dan kubebaskan kau dari segala ibadah”.
Abdul Qadir Jailanai mengambil sandalnya dan melemparkan ke cahaya tersebut dan menghardik “Pergilah kau syetan laknatullah!”.
Cahaya itu hilang lalu terdengar suara “Dari manakah kau tau aku adalah syetan?,”
Syaikh Abdul Qadir menjawab,”Aku tahu kau syetan adalah dari ucapanmu. Kau berkata telah menghalalkan yang haram dan membebaskanku dari syariat, sedangkan Nabi Muhammad SAW saja kekasih Allah masih menjalankan syariat dan mengharamkan yang haram.”
Syetan berkata lagi, “Sungguh keluasan ilmumu telah menyelamatkanmu.”
Syaikh Abdul Qadir berkata, “Pergilah kau syetan laknattullah! Aku selamat karena rahmat dari Alah Swt. bukan karena keluasan ilmuku.”

Syaikh Abdul Qadir dan Anak Seorang Wanita Miskin

Suatu saat, seorang wanita membawa anak laki-lakinya kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani. Wanita itu berkata, “Ya Sayyidii, aku tahu bahwa Anda adalah Ghawts, dan aku tahu demi kehormatan dari Nabi, engkau memberi.”
Wanita itu adalah seorang wanita yang miskin. Ia selalu menghadiri suhbat (asosiasi), dan ia melihat seluruh murid Syaikh menghadiri suhbat (nasihat) dan dzikir. Di hadapan setiap orang ada seekor ayam yang kemudian mereka makan.
Wanita itu berkata pada dirinya sendiri, “Alhamdulillah, aku miskin dan Sayyidina Abdul Qadir kaya baik di dunia maupun di akhira. Aku akan suruh anakku untuk duduk di sana. Setidaknya ia akan ikut makan di pagi dan malam hari.”
Ia berkata, “Aku ingin anakku menjadi muridmu.”
Beliau menerimanya. Anak itu adalah seorang anak yang berbadan cukup gemuk. Beliau menyuruh seorang murid, Muhamad Ahmad, “Bawa dia ke ruang bawah tanah dan berikan padanya award (roti kering) untuk khalwat (menyepi). Berikan untuknya sekerat roti dan minyak zaitun untuk makan setiap hari.”
Wanita tadi datang setelah satu bulan dan berpikir bahwa anak laki-lakinya pasti makan ayam setiap harinya. Saat datang itu, ia melihat para murid Syaikh duduk dan sedang makan ayam.
Wanita itu bertanya pada Syaikh tentang anaknya. Syaikh Abdul Qadir menjawab, “Ia sedang di ruang bawah tanah memakan makanan yang istimewa.”
Wanita itu senang, karena ia berpikir bahwa kalau para murid saja sedang makan ayam, pastilah anaknya sedang makan sapi.
Wanita itupun turun ke bawah dan melihat anak laki-lakinya. Dilihatnya anaknya tampak sangat kurus. Tapi, dia sedang duduk, membaca doa, berdzikir, dan cahaya memancar dari wajahnya.
Wanita itu mendatanginya.ia melihat sekerat roti di situ. Ia berkata, “Apa ini?”
Anaknya menjawab, “Itulah yang aku makan, sekerat roti setiap hari.”
Wanita itu kecewa. Ia kemudian mendatangi Syaikh Abdul Qadir dan berkata, “Aku membawa anakku untuk bersamamu.”
Saat wanita itu berbicara sang Syaikh memerintahkan para muridnya, “Makan.”
Setiap murid memakan ayam di hadapannya masing- masing. Yang dimakan bukan potongan-potongan, tapi ayam yang utuh yang telah masak, beserta tulang-tulangnya. Kemudian beliau berkata pada wanita itu, “Jika kau ingin anakmu mencapai suatu tingkat untuk dapat memakan ayam beserta tulang-tulangnya, maka ia harus lebih dahulu menjalani tarbiyah atau pelatihan.”
Tarbiyah itu adalah untuk membina dan melatih pikiran, yang merupakan hal paling sulit. Itulah yang diperlukan.
Seorang yang ingin senang tentu harus berusaha keras untuk mencapainya. Demikian juga orang yang ingin berhasil, maka ia harus belajar dengan sungguh-sungguh sebagaimana dikatakan yekh Abdul Qadir di atas.

Dalam Suatu Perjalanan

Pada suatu saat, Syaikh Abdul Qadir sedang berada dalam suatu perjalanan. Perjalanan yang ditempuhnya benar-benar berat. Ia harus melewati gurun padang pasir. Berhari-hari lamanya ia tidak menemukan air. Syaikh Abdul Qadir sudah sangat kehausan.
Tiba-tiba muncul segerombolan awan di langit. Awan itu seolah melindunginya. Dari awan itu jatuh tetesan air. Maka Syaikh Abdul Qadir segera meminum tetesan air dari atas itu. Hilanglah rasa dahaganya.
Kemudian aku melihat cahaya terang benderang, tiba-tiba ada suara memanggilku, “Wahai Abdul Qadir, Aku Rabbmu dan Aku telah halalkan segala yang haram kepadamu.”
Maka Abdul Qodir berkata: “Pergilah wahai engkau Syetan terkutuk.”
Tiba-tiba awan itu berubah menjadi gelap dan berasap. Kemudian ada suara yang mengucapkan: “Wahai Abdul Qadir, engkau telah selamat dariku (syetan) dengan amalmu dan fiqihmu.” Demikian sedikit kisah tentang Abdul Qodir.

 

Syaikh Abdul Qadir memiliki 49 orang anak, 27 di antaranya adalah laki-laki. Beliaulah yang mendirikan tariqat al-Qadiriyah. Di antara tulisan beliau antara lain kitab
• Al-Fathu Ar-Rabbani,
• Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haq dan
• Futuh Al-Ghaib.
Beliau wafat pada tanggal 10 Rabi’ul Akhir tahun 561 H bertepatan dengan 1166 M pada saat usia beliau 90 tahun.

Pertemuan Jailani dengan al-Hamadani

Abu Sa‘id Abdullah ibn Abi Asrun (w. 585 H.), seorang imam dari Mazhab Syafi’i, berkata, “Di awal perjalananku mencari ilmu agama, aku bergabung dengan Ibn al-Saqa, seorang pelajar di Madrasah Nizamiyyah, dan kami sering mengunjungi orang-orang saleh. Aku mendengar bahwa di Baghdad ada orang bernama Yusuf al-Hamadani yang dikenal dengan sebutan al-Ghawts. Ia bisa muncul dan menghilang kapan saja sesuka hatinya.
Maka aku memutuskan untuk mengunjunginya bersama Ibn al-Saqa dan Syaikh Abdul Qadir Jailani, yang pada waktu itu masih muda. Ibn al-Saqa berkata, “Apabila bertemu dengan Yusuf al-Hamadani, aku akan menanyakan suatu pertanyaan yang jawabannya tak akan ia ketahui.”
Aku menimpali, “Aku juga akan menanyakan satu pertanyaan dan aku ingin tahu apa yang akan ia katakan.”
Sementara Syaikh Abdu-Qadir Jailani berkata, “Ya Allah, lindungilah aku dari menanyakan suatu pertanyaan kepada seorang suci seperti Yusuf al-Hamadani Aku akan menghadap kepadanya untuk meminta berkah dan ilmu ketuhanannya.”
Maka, kami pun memasuki majelisnya. Ia sendiri terus menutup diri dari kami dan kami tidak melihatnya hingga beberapa lama. Saat bertemu, ia memandang kepada Ibn al-Saqa dengan marah dan berkata, tanpa ada yang memberitahu namanya sebelumnya, “Wahai Ibn al-Saqa, bagaimana kamu berani menanyakan pertanyaan kepadaku dengan niat merendahkanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya adalah ini!” dan ia melanjutkan, “Aku melihat api kekufuran menyala di hatimu.”
Kemudian ia melihat kepadaku dan berkata, “Wahai hamba Allah, apakah kamu menanyakan satu pertanyaan kepadaku dan menunggu jawabanku? Pertanyaanmu itu adalah ini dan jawabannya adalah ini. Biarlah orang-orang bersedih karena tersesat akibat ketidaksopananmu kepadaku.”
Kemudian ia memandang kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani, mendudukkannya bersebelahan dengannya, dan menunjukkan rasa hormatnya. Ia berkata, “Wahai Abdul Qadir, kau telah menyenangkan Allah dan Nabi-Nya dengan rasa hormatmu yang tulus kepadaku. Aku melihatmu kelak akan menduduki tempat yang tinggi di kota Baghdad. Kau akan berbicara, memberi petunjuk kepada orang-orang, dan mengatakan kepada mereka bahwa kedua kakimu berada di atas leher setiap wali. Dan aku hampir melihat di hadapanku setiap wali pada masamu memberimu hak lebih tinggi karena keagungan kedudukan spiritualmu dan kehormatanmu.”
Ibn Abi Asrun melanjutkan, “Kemasyhuran Abdul Qadir makin meluas dan semua ucapan Syaikh al-Hamadani tentangnya menjadi kenyataan hingga tiba waktunya ketika ia mengatakan, ‘Kedua kakiku berada di atas leher semua wali.’ Syaikh Abdul Qadir menjadi rujukan dan lampu penerang yang memberi petunjuk kepada setiap orang pada masanya menuju tujuan akhir mereka.
Berbeda keadaannya dengan Ibn Saqa. Ia menjadi ahli hukum yang terkenal. Ia mengungguli semua ulama pada masanya. Ia sangat suka berdebat dengan para ulama dan mengalahkan mereka hingga Khalifah memanggilnya ke lingkungan istana. Suatu hari Khalifah mengutus Ibn Saqa kepada Raja Bizantium, yang kemudian memanggil semua pendeta dan pakar agama Nasrani untuk berdebat dengannya. Ibn al-Saqa sanggup mengalahkan mereka semua. Mereka tidak berdaya memberi jawaban di hadapannya. Ia mengungkapkan berbagai argumen yang membuat mereka tampak seperti anak-anak sekolahan.
Kepandaiannya mempesona Raja Bizantium itu yang kemudian mengundangnya ke dalam pertemuan pribadi keluarga Raja. Pada saat itulah ia melihat putri raja. Ia jatuh cinta kepadanya, dan ia pun melamar sang putri untuk dinikahinya. Sang putri menolak kecuali dengan satu syarat, yaitu Ibn Saqa harus menerima agamanya. Ia menerima syarat itu dan meninggalkan Islam untuk memeluk agama sang putri, yaitu Nasrani. Setelah menikah, ia menderita sakit parah sehingga mereka melemparkannya ke luar istana. Jadilah ia peminta-minta di dalam kota, meminta makanan kepada setiap orang meski tak seorang pun memberinya.

Kegelapan Menutupi Mukanya.

Suatu hari seseorang melihat Ibnu al-Saqa. Orang yang bertemu dengan Ibn al-Saqa itu menceritakan bahwa ia bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi kepadamu?”
Ibn al-Saqa menjawab, “Aku terperosok ke dalam godaan.”
Orang itu bertanya lagi, “Adakah yang kau ingat dari Al Quran Suci?”
Ibnu al-Saqa menjawab, “Aku ingat ayat yang berbunyi, ‘Sering kali orang-orang kafir itu menginginkan sekiranya saja dulu mereka itu menjadi orang Islam’ (Q.S. al-Hijr [15]: 2).”
Orang itu menceritakan “Ibnu al-Saqa gemetar seakan-akan sedang meregang nyawa. Aku berusaha memalingkan wajahnya ke Ka’bah, tetapi ia terus saja menghadap ke timur. Sekali lagi aku berusaha mengarahkannya ke Ka’bah, tetapi ia kembali menghadap ke timur. Hingga tiga kali aku berusaha, namun ia tetap menghadapkan wajahnya ke timur. Kemudian, bersamaan dengan keluarnya ruh dari jasadnya, ia berkata, “Ya Allah, inilah akibat ketidakhormatanku kepada wali-Mu, Yusuf al-Hamadani.”
Sementara salah satu orang yang dulu menemui yaikh al-Hamadani, Ibn Abi Asrun menceritakan, “Sementara aku sendiri mengalami kehidupan yang berbeda. Aku datang ke Damaskus dan raja di sana, Nuruddin al-Syahid, memintaku untuk mengurusi bidang agama, dan aku menerima tugas itu. Sebagai hasilnya, dunia datang dari setiap penjuru: kekayaan, makanan, kemasyhuran, uang, dan kedudukan selama sisa hidupku. Itulah apa yang diramalkan oleh al-Ghawts Yusuf al-Hamadani untukku.”

 

Copy from : http://jalantrabas.blogspot.com/2008/01/syekh-abdul-qodir-aljaelani.html

Cerita ini dikisahkan oleh almarhum Syaikh Zakariya bin ‘Umar Bagharib Singapore (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), yang adalah putra dari Syaikh ‘Umar bin Abdullah Bagharib (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), seorang mursyid Tariqah Qadiriyah di Singapore.

Syaikh Zakariya Bagharib pernah bercerita bahwa suatu saat di masa hidup Ghawtsul A’zham Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailaniy1) (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), sang Sulthanul Awliya’ tengah berada di lingkungan Masjidil Haram. Saat berada di sana, beliau (Syaikh ‘Abdul Qadir) merasa takjub ketika melihat seorang wanita yang tengah melakukan thawafmengelilingi Ka’bah dengan hanya satu kakinya. Melalui firasat beliau, fahamlah Syaikh ‘Abdul Qadir bahwa wanita tersebut bukanlah wanita biasa, melainkan pastilah seorang Wali. Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailaniy pun mencoba mencari tahu level atau maqam atau kedudukan sang Wanita Waliyyah tersebut. Beliau pun mencoba ke level 1 (Wali ‘rendahan’), tak dijumpainya ruuhaniyyah wanita itu. Ke level 2, tak ada. Level 3, 4, … tak ada pula. Hingga sampai mendekati maqam Ghawtsiyyah beliau sendiri, tak juga ada. Akhirnya, menyerah juga, dan memohonlah beliau ke Hadirat Allah SWT yang kira-kira secara bebas
dapat dibahasakan sebagai berikut, “Yaa Allah, siapakah wanita ini yang tak dapat kulihat maqam wilayahnya?” (Sedangkan Syaikh Abdul Qadir Jailani terkenal dengan ucapannya ‘Kakiku berada di leher para Awliya”’)

“Yaa, ‘Abdal Qadir, ikutilah wanita itu bila engkau ingin mengetahui maqam wilayahnya”

Sang Ghawts pun membuntuti wanita tersebut, hingga akhirnya beliau mengetahui bahwa ternyata, wanita tersebut sebenarnya tidaklah buntung kaki yang satu. Yang terjadi adalah, wanita tersebut sebenarnya tengah menyusui anaknya. Anaknya yang kekenyangan tertidur di pangkuan kakinya. Dan dengan karamahnya sang Waliyyah ini ‘memutus’ sementara satu kaki agar anaknya tak terbangun, sementar ia pun menuju Masjidil Haram untuk berthawaf dengan hanya satu kaki. Dan ketika kembali ke anaknya yang masih terlelap dalam tidur, ia pun menyambungkan kembali kaki tadi.

Subhanallah. Itulah wilayah seorang wanita yang dicapai melalui kasih sayang keibuannya. Mawlana Syaikh Muhammad Nazim ‘Adil Al-Haqqani (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih) pun sering menyebutkan betapa dekat seorang wanita dengan darajah Wali… lewat keibuan (motherhood). Sayangnya, banyak wanita di zaman ini, termasuk dari kalangan Muslimah meninggalkan keibuan/motherhooddan menganggapnya sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman.
Dan sungguh ternyata kita tidak pernah tahu berapa dan betapa banyak hamba-hamba Allah (rijaalallah wa ‘ibaadallah) yang Ia SWT sembunyikan dalam kubah wilayah-Nya.

Catatan kaki:
Menurut almarhum Mawlana Syaikh Husayn ‘Ali ar-Rabbani (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani memegang maqam Ghawtsiyyah selama 3 tahun. Sebelum beliau adalah Mawlana Syaikh Yusuf Al-Hammadaniy (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih), dan setelah beliau adalah Mawlana Syaikh ‘Abdul Khaliq Al-Ghujdawani (qaddasAllahu sirrahu wa nafa’anaa bibarakaatih). Maqam Ghawtsiyyah adalam maqam tertinggi wilayah, sebagai representasi Rasulullah Muhammad sallallahu ‘alayhi wasallam.